Saturday, March 7, 2015

Genus Hylobates I

Ungko (Hylobates agilis)

Ungko (Hylobates agilis)
F. Cuvier 1821


Ungko adalah salah satu spesies primata Indonesia yang termasuk kedalam kategori Endangered menurut IUCN 2013. Berikut adalah klasifikasi ilmiah dari ungko:

Kingdom: Animalia
Filum : Chordata
Subfilum: Vertebrata
Kelas: Mamalia
Ordo: Primata
Famili: Hylobatidae
Genus: Hylobates

Spesies: Hylobates agilis ungko

Berdasarkan Supriatna dan Wahyono 2000, spesies Hylobates agilis memiliki tiga sub-spesies di Indonesia, yaitu Hylobates agilis ungko, Hylobates agilis agilis dan Hylobates agilis albibarbis.
Distribusi habitat Hylobates

Hylobates agilis albibarbis
Ungko memiliki ciri ciri fisik antara lain yang mudah dikenali yaitu warna rambut yang beragam (mulai dari abu abu, cokelat muda sampai hitam), dan satwa tersebut ditutupi dengan rambut dan memiliki alis putih atau pirang di bagian atas matanya. Spesies ini memiliki warna yang lebih gelap pada bagian pergelangan dan jari tangan, serta kaki dibandingkan dengan anggota tubuh lainnya. Kemudian, yang menjadi ciri dari spesies ini adalah adanya fenomena sexual dichromatism yaitu pembedaan warna tubuh berdasarkan jenis kelamin.

Jantan dewasa memiliki warna rambut yang lebih terang dibandingkan dengan betina dewasa, yaitu pada bagian khususnya pipi hingga dagu. Hal tersebut juga terjadi pada betina remaja dimana saat dewasa terjadi perubahan warna rambut menjadi lebih gelap di bagian muka dan dagu. Ungko memiliki berat tubuh antara 5-8 kg dan besar tubuh antara 44 cm hingga 63,5 cm. Ukuran tubuh Ungko lebih kecil dan ramping dibandingkan dengan Great apes (simpanse, gorila, bonobo dan orangutan) sehingga seringkali disebut dengan julukan kera kecil. Ungko disebut sebagai kera karena tidak memiliki ekor. Mereka memiliki tangan yang lebih panjang dibandingkan kaki, dan tidak dapat berenang. Tangan yang panjang tersebut digunakan untuk menjangkau dahan dahan disekitarnya sehingga efektif dalam pergerakan brankiasi atau berayun pada tajuk tajuk pohon di hutan  (Supriatna & Wahyono 2000).

Ungko merupakan primata diurnal dan arboreal. Diurnal artinya mulai beraktivitas sebelum matahari terbit dan mengakhirinya pada sore hari, dan arboreal artinya selalu berada di atas pepohonan. Waktu aktivitas hariannya kurang lebih berlangsung 9,5 jam hingga 10,5 jam. Aktivitas yang dilakukan ungko antara lain bersuara (calling), berpindah (travelling), makan (feeding and foraging), berkutu-kutuan (grooming) bermain (playing) dan istirahat (resting) (Nowak 1999). Aktivitas bersuara atau calling digunakan Ungko sebagai komunikasi antar kelompok sehingga tidak terjadi kontak langsung antara kelompok, berfungsi juga sebagai penanda teritori. Aktivitas tersebut diawali dengan dawn call yang dilakukan oleh jantan dewasa sendiri di pagi hari. Selanjutnya, aktivitas makan dilakukan setelah aktivitas bersuara, dan kegiatan tersebut bisa dilakukan oleh spesies tersebut pada suatu pohon selama 2 atau 3 hari.

Daerah jelajah merupakan batas terluar dari akumulasi jalur jelajah harian. Luas daerah jelajah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti ketersediaan sumber makanan dan tempat berlindung (Collinge, 1993). Daerah jelajah primata dapat berubah dari tahun ketahun yang disebabkan oleh perubahan musim, persaingan antar kelompok, perburuan dan degradasi habitat (Rowe, 1996). Luas daerah jelajah kelompok Hylobates bervariasi, dan luas daerah jelajah dari Hylobates agilis adalah 29 Ha (Chivers 2001). Pakan ungko adalah buah buahan sehingga disebut dengan satwa frugivorous, akan tetapi tidak hanya buah buahan yang dimakan, tercatat ungko juga memakan daun, bunga, dan insekta. Berikut ini adalah komposisi makanan dari Ungko;  buah 58%, daun 38%, bunga 3%, dan memangsa binatang 1% (Rowe, 1996). Chivers (2001) menyebutkan beberapa jenis 8 vegetasi yang menjadi sumber pakan bagi keberadaan ungko antara lain dari genus Artocarpus, Baccauarea, Dillenia, Ficus, Litsea, Canarium, Diospyros, Mangifera, Eugenia, Callophylum, Gnetum dan Vitex.

Genus Artocarpus

Ungko memiliki penyebaran habitat mulai dari Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaysia hingga daerah selatan Thailand. Jenis Hylobatidae ini menghuni kawasan hutan primer, hutan sekunder, hutan rawa, hutan hujan tropis dataran rendah dan hutan hujan pegunungan hingga ketinggian 2000 mdpl. Ungko memiliki sebaran dari Sumatera bagian 6 tengah (mulai selatan Danau Toba) hingga ke Sumatera bagian selatan (Supriatna & Wahyono 2000).

Sumber Pustaka:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/58291/BAB%20II%20TINJAUAN%20PUSTAKA.pdf?sequence=2
http://jurnalsain-unand.com/FilesJurnal/254065889Yunila%20Berliana%20final%2057-63.pdf

Orangutan Sumatra II (video)


Bagaimana cara orangutan mendapatkan makanan? bagaimana perilaku hidup mereka di alam liar? berikut ini adalah video yang saya dapatkan dari sebuah situs yang berna Arkive, selain orangutan Sumatra, masih banyak lagi video satwa liar lainnya yang kalian dapat temukan disini,, perilaku mereka terkadang sangat lucu dan terkadang memang mirip dengan kita manusia,, berikut ini adalah videonya, check this out! :).

Orangutan Sumatra berusaha berlindung dari hujan dengan menggunakan dedaunan

Orangutan Sumatra makan buah durian

Orangutan Sumatra memakan dedaunan

Sekelompok Orangutan Sumatra memakan buah-buahan di pohon

Orangutan Sumatra memakan semut sebagai sumber protein


Orangutan Sumatra I

Orangutan Sumatra
(Pongo abelii)


Orangutan Sumatra
Pongo abelii


Berdasarkan taksonomi, terdapat dua jenis orangutan yaitu orangutan Sumatra dan orangutan Kalimantan. Perbedaan tersebut disebabkan isolasi geografis yang paling sedikit terjadi sejak 10.000 tahun lalu ketika permukaan air laut naik dan membelah pulau Sumatra dan Kalimantan. Berikut ini adalah taksonomi dari orangutan Sumatra.


Kingdom : Animalia 
Filum : Chordata 
Subfilum : Vertebrae
Kelas : Mamalia 
Ordo : Primata
Famili : Homonidae 
Subfamili : Pongonidae 
Genus : Pongo 
Spesies : Pongo abelii (Orangutan Sumatera) 

Orangutan atau disebut juga dengan mawas, yaitu kera besar yang hidup di Pulau Sumatra bagian utara, dan Kalimantan, serta Sabah Malaysia. Orangutan termasuk dalam golongan kera disebabkan tidak mempunyai ekor, sedangkan monyet berbeda dengan kera karena memiliki ekor. Orangutan Sumatra berbeda dengan orangutan Kalimantan, mereka memiliki warna tubuh merah kekuningan dan lebih terang dibandingkan orangutan Kalimantan. Dan jika dibandingkan secara mikroskopik, maka orangutan Sumatra berambut lebih tipis, membulat, terdapat kolom pigmen gelap yang halus dan sering patah di tengahnya, serta berujung hitam di bagian luarnya dibandingkan dengan orangutan Kalimantan.Perbedaan perilaku lainnya adalah orangutan Sumatra lebih sering berada di atas pepohonan arboreal dibandingkan dengan orangutan Kalimantan, hal tersebut kemungkinan disebabkan di hutan Sumatra lebih banyak predator dibandingkan dengan hutan di Kalimantan.

Orangutan Sumatra mempunyai tubuh besar dengan berat berkisar antara 50- 90 kg untuk jantan dan 30-50 kg untuk betina, tubuh ditutupi oleh rambut berwarna coklat kemerahan, tidak berekor, dan ukuran tubuh jantan dua kali lebih besar daripada yang betina. Pakan orangutan Sumatra adalah buah-buahan, dan paling senang dengan buah durian. Terkadang orangutan makan dedaunan muda, tunas, liana, dan juga rayap atau semut sebagai kebutuhan proteinnya. Orangutan Sumatra tidak hanya minum air yang terdapat pada buah buahan tetapi juga dari liang pohon, atau membuat mangkuk dari daun untuk digunakan mengambil air.

Orangutan Sumatra Jantan
Orangutan Sumatra Betina dengan Anaknya

Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang terdapat di Asia. Populasi terakhir orangutan Sumatra menurut  Soehartono et al (2007) dan Wich et al (2008) adalah 6.600 individu di alam. Dan menurut informasi yang didapatkan oleh SOS-OIC pada tahun 2007, spesies tersebut hanya dapat ditemukan di beberapa kawasan hutan seperti hutan yang terdapat di Sumatera Utara (Bohorok, Tangkahan dan Batang Toru) dan Aceh Tenggara (Singkil, Ketambe, dan Suaq). Kemudian berdasarkan IUCN, populasi orangutan Sumatra menurun pada 75 tahun terakhir ini sehingga diklasifikasikan sebagai Critically Endangered, dan pada tahun 1998-1997, diketahui bahwa 1000 individu orangutan per tahunnya mati di kawasan Gunung Leuser, dimana satu-satunya kawasan terbesar bagi habitat orangutan Sumatra di pulau Sumatra bagian Utara.

Orangutan hidup di hutan tropis, mulai dari dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut. Orangutan cenderung menyendiri (soliter) dan tidak membuat keluarga atau kelompok. Biasanya hanya betina yang diikuti dengan satu atau dua anaknya yang belum mandiri. Sedangkan jantan hanya saat berpasangan dengan betina pada musim kawin. Kehidupan soliter pada orangutan adalah sesuatu yang khas dan berbeda dari jenis kera besar lainnya dari suku Pongidae (Napier & Napier, 1976). Walaupun demikian menurut Schurmann (1982), orangutan bukan berarti tidak melakukan kontak sosial. Kemudian Galdikas (1978) menambahkan bahwa orangutan tetap melakukan interaksi dengan individu lain, terutama hubungan yang terjadi antara anak dan induk yang terlibat dalam berbagai kebersamaan dengan jenis-jenis satuan lain secara luas. Selain itu, melimpahnya sumber pangan, juga membuat orangutan Sumatera lebih sosial seperti yang terjadi di rawa Singkil (Schaik et al., 1994). 

Habitat orangutan dapat dikategorikan sebagai habitat in-situ (hutan alam) dan habitat eks-situ (hutan binaan/rehabilitasi dan reintroduksi, kebun binatang, dan lain sebagainya). Apabila dikaitkan dengan usaha-usaha konservasi, maka kegiatan yang dilakukan di habitat tersebut dapat dikelompokkan menjadi kegiatan rehabilitasi dan bukan rehabilitasi. Hoeve (1996) menyatakan bahwa orangutan dapat hidup pada berbagai tipe hutan, mulai dari hutan dipterokarpus perbukitan dan dataran rendah, daerah aliran sungai, hutan rawa air tawar, rawa gambut, tanah kering di atas rawa bakau dan nipah, sampai ke hutan pegunungan. Di Borneo orangutan dapat ditemukan pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut (dpl), sedangkan kerabatnya di Sumatera dilaporkan dapat mencapai hutan pegunungan pada 1.000 m dpl. Bagi orangutan, daya dukung habitat ini ditentukan oleh produktivitas tumbuhan yang menghasilkan makanan pada waktu yang tepat dan sebagai tempat beristirahat yang aman. Kekurangan makanan akan menyebabkan terjadinya persaingan, dan anggota yang posisinya lebih rendah harus mencari sumber-sumber makanan di tempat lain, atau menerima sumber-sumber makanan alternatif. Jika tidak, mereka akan mati. Jadi, jika kebutuhan dasar lainnya (air, makanan, tempat beristirahat, dan lain sebagainya) cukup tersedia, maka aktivitas hidupnya akan berlangsung dengan baik, dengan kata lain daya dukung untuk kehidupannya ditentukan oleh ketersediaan akan sumber makanannya (Meijaard, 2001).

Sumber Pustaka:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31214/4/Chapter%20II.pdf
http://awsassets.wwf.or.id/downloads/orangutan_english__factsheet09.pdf

Friday, March 6, 2015

Hidup harmoni dengan Alam!

Phillipe Cousteau mengunjungi Mobile Education Unit yang bertugas mengajarkan pendidikan konservasi bagi anak anak yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh Jambi. Mobile Education Unit adalah bagian dari Frankfut Zoological Society yang bergerak dalam reintroduksi orangutan Sumatra di Taman Nasional Bukit Tigapuluh.
http://edition.cnn.com/videos/international/2013/10/04/spc-sumatra-orangutan-mobile-education.cnn

Monday, March 2, 2015

25 Primata Dunia Yang Terancam Punah (Endangered) Pada Tahun 2012--2014 (5)

Pig-tailed Snub-nose Langur
 Simias concolor
 


5. Pig-tailed Snub-nose Langur Simias concolor 
Miller, 1903 
Indonesia

Pig-tailed Snub-nose Langur adalah spesies endemik yang terdapat di pulau Mentawai. Terdapat dua subspesies dari Simias concolor atau dikenal dengan simakobu, yaitu Simias concolor concolor yang mendiami pulau Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Sementara subspesies lainnya adalah Simias concolor siberu yang terdapat di pulau Siberut. Data menunjukkan bahwa kegiatan dari spesies tersebut yaitu waktu istirahat (46 persen), makan (44 persen), dan  bergerak (7 persen). Perkiraan jumlah tutupan hutan yang tersisa di kepulauan Pagai sekitar 826 km ² berdasarkan pencitraan satelit; Tutupan hutan ditambah dengan data kepadatan primata menunjukkan bahwa ada sekitar 3.347 simakobu, 1.049 bilou, 1.545 joja dan 7.984 makaka di kepulauan Pagai. Dan semua primata tersebut mencapai kepadatan tertinggi di hutan Peleonan, sebuah proyek konservasi di Siberut bagian Utara. Simias concolor diklasifikasikan sebagai Critically Endangered oleh IUCN red list, ancaman terhadap spesies tersebut adalah perburuan dan penebangan hutan. Populasi yang terdapat di pulau Pagai terancam oleh konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit; hutan kliring dan ekstraksi produk oleh masyarakat setempat. Meskipun jumlah perburuan menurun, namun simakobu masih terancam karena merupakan favorit pada perburuan ( the preferred game species).
 Meskipun berburu. Tenaza (1987) memperkirakan bahwa dua dari individu yang baru lahir dibunuh oleh pemburu setiap tahunnya di kepulauan Pagai. Langkah-langkah drastis perlu diambil untuk memastikan bahwa hutan Peleonan di Siberut dan daerah di Pagai benar-benar terlindungi. Whittaker (2006) menyarankan konservasi berikut tindakan untuk S. concolor:
 1) peningkatan perlindungan bagi Taman Nasional Siberut, yang saat ini tidak memiliki penegakan;
 2) perlindungan formal hutan Peleonan di Siberut Utara, yang merupakan rumah bagi primata karena kepadatan populasi yang tinggi dan mudah diakses;
 3) perlindungan daerah di Kepulauan Pagai 
 4) pendidikan konservasi,
 5) pengembangan model ekonomi alternatif bagi masyarakat lokal untuk mengurangi kemungkinan mereka menjual tanaha untuk perusahaan penebang hutan

25 Primata Dunia Yang Terancam Punah (Endangered) Pada Tahun 2012--2014 (4)

Javan Slow Loris
 Nycticebus javanicus


4. Javan Slow Loris 
Nycticebus javanicus
 É. Geoffroy Saint-Hilaire, 1812
 Indonesia

Semua kukang Asia menghadapi kehilangan habitat secara besar-besaran, dan yang mengalami ancaman utama adalah Horton Plain slender loris yang terdapat di Srilanka yang saat ini menuju ambang kepunahan. Ancaman langsung yang lebih besar untuk kukang Asia adalah permintaan yang tinggi untuk dijadikan hewan peliharaan, perdagangan obat tradisional dan menggunakan mereka sebagai alat peraga foto wisata. Pergerakan yang lambat membuat kukang Asia mudah ditangkap sehingga jumlah mereka di pasar hewan sangatlah banyak, dan kemampuan mereka untuk memulihkan jumlah populasi sangatlah lambat di alam liar (disebabkan oleh kemampuan reproduksi).Pada akhirnya, ancaman tersebut menimbulkan kekhawatiran yang luar biasa sehingga semua anggota genus Nycticebus dipindahkan ke dalam CITES Appendiks I pada tahun 2007. Delapan spesies kukang yang sekarang diakui: N. coucang (lebih besar), N. pygmaeus (kerdil), N. bengalensis (Bengal), N. javanicus (Jawa) dan empat di Borneo: N. menagensis, N. bancanus, N. borneanus, dan N. kayan (Roos 2003; Chen et al 2007;.. Munds et al 2013). 
Semua kukang menderita akibat perdagangan di wilayah masing masing, namun jika dikombinasikan dengan hilangnya habitat, maka tidak ada spesies lain yang lebih parah dibandingkan dengan kukang jawa. Terdapat persepsi yang salah di masyarakat dimana hewan kukang merupakan hewan yang lucu yang ditunjukkan pada beberapa video di youtube dan media sosial lainnya sehingga meningkatkan permintaan dalam perdagangan hewan liar. Kukang jawa diakui oleh IUCN sebagai spesies pada tahun 2006 dan tergolong pada hewan yang Critically Endangered. Kukang jawa secara morfologi dan genetik berbeda dengan kukang Asia lainnya, namun sedikit mirip dengan N. bengalis dari daratan Asia. Kukang jawa memiliki berat sekitar 1 kg, dan keunikannya terdapat pada  tanda seperti garpu tebal hitam dari mata dan telinga hingga kepala dan terdapat pola diamond berwarna putih pada dahi. Meskipun secara hukum dilindungi sejak tahun 1973, dengan leher yang lembut seperti cream, punggung bergaris tebal dan memiliki wajah lucu seperti panda, tidak mengherankan bahwa spesies tersebut menjadi target perdagangan hewan liar sejak tahun 1990.

Catatan penting: Berdasarkan IUCN 2013, Kukang Jawa diturunkan menjadi hewan yang tergolong Endangered, Asian Primates Journal, Volume 41, Tahun 2014





Sunday, March 1, 2015

25 Primata Dunia Yang Terancam Punah (Endangered) Pada Tahun 2012--2014 (3)

Pygmy Tarsier
 Tarsius pumilus Miller and Hollister 1921
(Ilustrasi: Stephen D. Nash)

3. Pygmy Tarsier 
Tarsius pumilus (Miller and Hollister 1921)
Sulawesi Tengah, Indonesia.

Tarsius pumilus, ditemukan kembali oleh Gursky dan Grow pada tahun 2008. Hal tersebut disebabkan tidak adanya penelitian yang dilakukan lebih dari 90 tahun sehingga primata tersebut dispekulasikan punah di alam. Tarsius pumilus merupakan spesies Tarsius yang endemik di pegunungan Sulawesi Tengah, Indonesia. Spesies terbt berbeda dengan Tarsius yang berada di hutan dataran rendah dimana ukurannya sangat kecil dan memiliki perilaku yang tidak biasa (Shekelle 2008, Grow dan Gursky 2010). Berat badan rata rata dari Tarsius pigmi sekitar 55 g, sementara Tarsius di dataran rendah sekitar 108 hingga 136 g. Kemudian spesies tersebut juga tidak memiliki jejak aroma dan membuat duet call seperti Tarsius pada dataran rendah, mereka lebih bersifat kriptik atau samar dan sangat sulit ditemukan keberadaannya. Penamaan dari spesies ini awalnya oleh Miller dan Hollister pada tahun 1921, berdasarkan temuan spesimen di dua musem. Banyak usaha yang dilakukan untuk menemukan keberadaan spesies yang belum diketahui atau masih samar tersebut (elusive species). Dan akhirnya Gursky dan Grow pada tahun 2008 menemukan titik terang dengan berkonsentrasi pada lokasi gunung yang sama dimana mamalia tersebut berada, serta survei yang tidak sengaja dilakukan menemukan spesimen ketiga pada tahun 2000, hal tersebut menunjukkan bahwa keberadaan spesies tersebut masih ada di alam ( Maryanto dan Yani 2004). Banyak berbagai ancaman yang dapat membuat punah spesies tersebut, diperparah lagi dengan distribusi yang terbatas. Keberadaan Tarsius pigmi hanya berada di atas ketinggian 2000 meter di gunung Rore Katimbu, dan survei yang dilakukan menunjukkan bahwan kepadatan populasi dari Tarsius pumilus di lokasi tersebut sekitar 92 individu per 100 ha, dengan estimasi 6 kelompok per ha. Jumlah habitat bagi spesies ini sangat terbatas dimana hanya 20 persen dari Taman Nasional Lore Lindu yang memiliki elevasi lebih tinggi dari 1500 meter, dan dari ketinggian tersebut hanya ditempati oleh Tarsius pigmi sebagian kecilnya. Banyaknya manusia yang menuju ketinggian di atas 1500 meter menjadi ancaman yang serius terhadap distribusi dan kepadatan populasi dari Tarsius pigmi. Meskipun mereka berada di kawasan yang diproteksi, adanya kemungkinan deforestasi dan perambahan liar dari desa terdekat tidak bisa dipungkiri terjadi di Taman Nasional Lore Lindu. Warga desa sekitar kawasan terus menerus dapat mengambil sumber daya alam dan memodifikasi lanskap hutan. Sumber daya yang terus menerus diambil dari dalam hutan lindung adalah resin dari Dipterocarpaceae, burung dan mamalia untuk perdagangan satwa, dan kayu. Persoalan lainnya adalah pertumbuhan penduduk yang meningkat di sekitar kawasan sehingga menciptakan permintaan yang tinggi untuk lahan pertanian dan kayu bakar, dan akan semakin masuk ke ketinggian yang lebih tinggi dimana sumber daya masih tersedia. Hal tersebut akhirnya dapat mengancam habitat dari Tarsius pigmi dan tercatat oleh IUCN bahwa populasi yang terbatas tersebut semakin menurun dan spesies tersebut diklasifikasikan sebagai defficient data oleh Shekelle dan Salim 2008.

Tarsius pigmi ditemukan setelah 85 tahun*



25 Primata Dunia Yang Terancam Punah (Endangered) Pada Tahun 2012--2014 (2)

Roloway Monkey
Cercopithecus diana roloway (Schreber, 1774)
2. Roloway Monkey 
Cercopithecus diana roloway 
(Schreber, 1774)
Ghana, Afrika Barat


Cercophithecus diana memiliki dua subspesies, dimana keduanya sangat atraktif dan merupakan hewan arboreal (menghabiskan harinya di pepohonan) yang menempati bagian atas hutan Guinea Afrika Barat. Dari dua subspesies tersebut, Cercopithecus diana roloway yang berhabitat di Ghana, serta pusat dan bagian timur dari Pantai Gading saat ini lebih serius terancam akan kepunahan. Primata tersebut diklasifikasikan dalam IUCN sebagai Endangered species pada tahun 2008, akan tetapi kini statusnya harus ditingkatkan menjadi Critically Endangered. Subspesies tersebut dicirikan memiliki alis putih dan janggut putih yang panjang, dan paha yang berwarna kuning. Habitatnya berada di kanopi bagian atas hutan yang tidak terganggu (undisturbed forest). Ancaman yang dihadapi oleh subspesies tersebut adalah perusakan dan degradasi habitat; perburuan dan perdagangan hewan liar yang menyebabkan menurunnya populasi. Oates (2011) menyatakan bahwa Procolobus badius waldroni pernah mendiami daerah yang sama dengan Roloway monkey, namun dipastikan sekarang sudah hampir punah. Dalam waktu dekat selama 40 tahun terakhir jika tidak ada tindakan konservasi yang efektif dalam melindungi Roloway monkey di Ghana maka subspesies tersebut dipastikan akan punah di alam.
Beberapa survei yang dilakukan baru baru ini telah gagal mendapatkan konfirmasi keberadaan monyet tersebut di bagian barat Ghana, survei dilakukan di Taman Nasional Bia, Krokosua Hills Forest Reserve, Subri River Forest Reserve dan Dadieso Forest Reserve. Hutan Kwabre adalah satu satunya kawasan di Ghana yang dimana subspesies tersebut dilaporkan terlihat oleh ilmuwan dalam dekade terakhir ini. Survei tersebut dibuat oleh Primate Conservation di Afrika Barat pada tahun 2011 dan 2012. Hutan Kwabre adalah hutan daratan rendah berawa di sepanjang sungai Tano, yang berdekatan dengan hutan Tanoe di Pantai Gading. WAPCA telah meluncurkan proyek konservasi berbasis masyarakat di desa-desa sekitar hutan Kwabre. Sementara itu, upaya lebih lanjut harus dilakukan untuk memastikan bahwa Roloway monkey dapat bertahan di kawasan tersebut. Upaya yang dipimpin oleh I. Kone dan melibatkan beberapa organisasi (CEPA dan WAPCA) membantu menghentikan sebuah perusahaan kelapa sawit dari degradasi habitat lebih lanjut dan berbasis masyarakat. Upaya konservasi tersebut telah menurunkan jumlah perburuan yang ada, meski masih dilaporkan adanya beberapa perburuan.
Sebagai potensi perlindungan terakhir untuk Roloways dan White-naped mangabey, perlindungan hutan Tanoe harus prioritas konservasi tertinggi. Dengan ukuran apa pun, Roloway monkeys harus dianggap sebagai salah satu yang paling terancam punah monyet di Afrika dan berada di ambang kepunahan (Oates 2011).

Diana Monkey 
Cercopithecus diana diana


Videos mengenai Roloway monkeys: http://www.arkive.org/diana-guenon/cercopithecus-diana/video-06.html
Sumber Pustaka: http://www.primate-sg.org/storage/pdf/Primates_in_Peril_2012-2014_Full_Report.pdf

25 Primata Dunia Yang Terancam Punah (Endangered) Pada Tahun 2012--2014 (1)

Rondo dwarf galago (Galagoides rondoensis)
Diilustrasikan oleh Stephen D. Nash

1. Rondo Dwarf Galago
Galagoides rondoensis
Tanzania, Afrika


Galagoides rondoensis adalah spesies galagos yang terkecil dengan perkiraan berat 60 gram. Primata tersebut berbeda dengan spesies dwarf galago lainnya dalam hal ukuran tubuh yang kecil, ekor yang berbentuk seperti sikat botol, anatomi reproduksi yang berbeda, serta kekhasan panggilan yang disebut dengan "double unit rolling call" (Perkin dan Honess 2013). Primata tersebut dapat ditemukan pada dua wilayah yang berbeda, yaitu di barat daya Tanzania dekat dengan pesisir kota Lindi dan Mtwara, dan lainnya berada sekitar 400 meter di bagian utara, di atas sungai Rufiji, di dalam hutan sekitar Dar es Salaam, dan populasi lainnya ditemukan di Taman Nasional Saadani, sekitar 100 meter sebelah utara  Dar es Salaam. 
Galagoides rondoensis merupakan frugivora atau pemakan buah buahan serta serangga untuk memenuhi kebutuhan proteinnya. Primata ini sering dijumpai mendekati tanah, bergerak secara vertikal dan melompat. Mereka juga membangun sarang tidur pada siang hari pada kanopi. Predator yang mengancam primata tersebut adalah burung hantu dan predator nokturnal lainnya seperti musang dan ular (Perkin dan Honess 2013).
Selama dekade terakhir status G. rondoensis telah berubah dari Endangered di tahun 2000 menjadi Critically Endangered pada tahun 2008 menurut IUCN Red List (Perkin et al.2008). Hal tersebut disebabkan primata tersebut memiliki jangkauan yang terbatas dan habitat yang terfragmentasi. 

Ancaman utama yang dihadapi spesies ini adalah hilangnya habitat.
Semua lahan digunakan untuk pertanian, perambahan, pembuatan arang dan / atau penebangan, kecuali Pande (Game Reserve), Zaraninge (di dalam Taman Nasional Saadani) dan Rondo (Nature Reserve), adalah cadangan hutan otoritas nasional atau lokal, akan tetapi dalam prakteknya hanya dilindungi secara minim.  Tindakan konservasi sangat dibutuhkan untuk melindungi primata tersebut antara lain: pemantauan tingkat hilangnya habitat, survei daerah baru untuk sisa populasi, memperkirakan ukuran populasi, menilai kembali hubungan filogenetik dari sub-populasi dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya konservasi dilakukan.

Sumber Pustaka: http://www.primate-sg.org/storage/pdf/Primates_in_Peril_2012-2014_Full_Report.pdf